Ditinjau dari teori kesisteman, memahami dan menemukan
permasalahan produktivitas dapat dilihat dari elemen yang secara bersama
membentuk proses produksi. Proses produksi itu sendiri, dalam tataran sederhana
hanya terdiri dari tiga unsur: input, proses, dan output. Produktivitas
merupakan perban-dingan antara output dengan input untuk mengetahui berapa
rasio input menghasilkan input setelah input diproses. Atau dalam kalimat lain
produktivitas juga menunjukkan kemampuan proses mengkonversi input menjadi
output. Semakin efisien sebuah proses, dan semakin baik kualitas input serta
semakin bagus interaksi antara input dan proses, akan tercapai output yang
optimal.
Persoalannya, kondisi ideal sebagaimana diharapkan tak
selalu hadir, bahkan yang acap muncul justru kondisi tidak ideal seperti
misalnya, rendahnya kualitas input, kelangkaan kuantitas input, kualifikasi
proses di bawah spesifikasi (under specification), proses mengalami
kerusakan, dan masih banyak lagi. Dari sini dapat ditarik kesimpulan sementara
bahwa potensi penyebab rendahnya produktivitas terentang dari input, proses
hingga output-nya itu sendiri. Lantas apa hubungannya dengan perilaku manusia
yang berada dalam zona nyaman? Bagaimana penjelasannya?
Setelah meninjau dari teori kesisteman, kita cermati teori perilaku
manusia (human behaviour theory) dan kaitan antara kedua teori tersebut.
Dalam teori kesisteman, manusia dikategorikan sebagai input, hal ini sejalan
dengan teori dasar ekonomi bahwa tenaga kerja (labor) yang nota bene
manusia merupakan salah satu dari faktor produksi (input) selain tanah (land)
dan modal (capital). Tanah dan modal keduanya merupakan benda mati yang
sifat dan perannya ditentukan oleh pemilik (manusia). Sementara tenaga kerja
adalah juga manusia yang memiliki keunikan dan sifat kemanusiaan yang diterima
dari penciptanya (Allah SWT). Setiap manusia memiliki sifat unik, memiliki
kesadaran untuk berpikir dan bertindak secara rasional maupun emosional. Sifat
dan karakter inilah yang membedakan manusia dari binatang atau benda mati.
Sesuai fitrahnya, manusia senantiasa berupaya mencapai
posisi “paling atas’ , mendekati kesempurnaan sifat Illahi, semampu yang
dicapai atau diingininya. Di sinilah persoalannya. Posisi
“paling atas” ini ternyata relatif antara satu manusia dengan manusia lainnya. Ada
yang merasa kalau sudah mendapat pendidikan dasar saja sudah merasa paling
atas, namun ada pula lainnya yang merasa sudah “paling atas’ jika sudah
menempati posisi pimpinan negara atau pemerintahan. Mengapa setiap
orang berbeda? Selain karena fitrahnya, barangkali karena jika semua manusia
sama, maka tidak dapat mereka saling mengenal dan menghormati. Selain itu, ini
barangkali yang paling penting, perbedaan menimbulkan semangat
kompetisi untuk semakin maju, yang merasa posisinya belum mencapai “paling
atas” termotivasi untuk berupaya meningkatkan kualitasnya hingga mencapai
posisi “paling atas” sebagaimana diharapkan.
Mereka yang sadar dan senanatiasa ingin terus bergerak “ke
atas” mendekati sifat kesempurnaan Illahi inilah yang disebut sebagai manusia
produktif, sementara mereka yang sudah puas dengan posisi yang didudukinya dan
tak berniat atau berupaya mencapai posisi yang lebih tinggi lagi, inilah
kelompok yang sudah enggan bergerak dari zona nyaman. Tetapi benarkah posisinya
sudah nyaman betul, dan mereka tak mungkin tergulingkan dari situ? Tak ada yang
absolut, tak satupun orang dapat menjamin keberadaaan di suatu posisi secara
abadi. Jika demikian, lantas apakah berdiam diri di zona nyaman layak
dipertahankan? Jawabnya sekali lagi kembali kepada masing-masing
individu.
Bagaimana jika seseorang yang sudah berada di zona nyaman
ingin bergerak keluar, mencari keseimbangan baru, namun tak mampu
mengerjakannya sendiri? Ini pertanda bagus. Artinya, dalam dirinya sudah muncul
dorongan perubahan. Tinggal berapa besar energi perubahan yang ada pada
dirinya. Teori fisika mengatakan perubahan posisi suatu benda dapat terjadi
bila ada energi yang lebih besar dari moment massa tersebut. Energi tersebut
dapat datang dari dirinya sendiri, misal erupsi gunung berapi, atau bergeraknya
pesawat terbang, kapal, dan mobil; atau datang dari luar seperti misalnya besi
diangkat oleh crane, meja didorong oleh orang. Pada mereka yang
sudah muncul energi perubahan di dalam dirinya, tantangannya bagaimana
membesarkan energi tersebut hingga terakumulasi dan mampu merobohkan hambatan
kelembaman. Ada sementara orang yang mampu membangun energi sehingga semakin
membara dan membesar, orang – orang seperti ini kita sebut self
developer. Namun ada lebih banyak orang yang perlu dibantu dari
luar dalam membangun energinya.
Di pihak lain, mereka yang sama sekali tidak punya
keingingan untuk berubah, ingin melanggengkan posisinya di dalam zona nyaman,
untuk dan atas nama kepentingan publik yang lebih luas, tindakan yang pantas
kepada mereka adalah tidak dimasukkan ke dalam status sebagai input, alias
dilepas statusnya sebagai bagian dari proses produksi.
Mengutip ajaran yang diberikan oleh CEO Bakrie Metal
Industries (BMI) Bapak Santoso Wardoyo Ramelan (SWR) bahwa ada tiga penyebab
rendahnya produktivitas: malas, maling dan mubazir (yang
disebut sebagai Tiga-M), maka berdiam diri dalam zona nyaman sesuai dengan
kriteria malas. Mengapa demikian? Seseorang yang malas sama dengan input yang
tidak berkualitas, yang pada gilirannya akan memengaruhi proses dan akhirnya
output. Misal, si A memiliki kemampuan mengelas dengan kualitas baik 10 meter
sambungan per hari kerja, namun karena dia malas, tak dipergunakan semua
kemampuannya sehingga hanya hasilkan 6 meter sambungan untuk jam kerja yang
sama. Apa dampaknya? Durasi penyelesaian pekerjaan semakin lama, biaya
bertambah, dan akhirnya alih-alih meraih untung, rugi yang didapat.
Jika hanya satu orang (si A saja) tak terlalu masalah,
menjadi problem besar jika perilaku semacam ini mewabah hingga majoritas
pekerja, di suatu organisasi, industri bahkan nasional. Dampaknya produktivitas
nasional menurun, daya saing hilang, dan prospek ekonomi menyuram, hingga
akhirnya manusia hidup dalam perekonomian yang serba susah.
Beranjak dari zona nyaman, meninggalkan kemalasan, keduanya
menuju suatu keseimbangan baru dipercaya merupakan salah satu upaya dari sekian
banyak resep meningkatkan produktivitas. Kembali ke elemen produksi,
sebagaimana disebutkan manusia memang bukan satu-satunya elemen produksi; meski
demikian manusia-lah satu-satunya elemen produksi yang dapat mengubah sifat,
bentuk, jumlah, kualitas, dan kinerja elemen produksi lainnya. Dalam konteks
ini manusia sebagai aktor utama yang berperan menentukan produktif tidaknya
suatu venture. Jika demikian sentralnya fungsi dan peran manusia,
mengapa tidak semua manusia memahaminya? Dan bila ada yang sudah paham, mengapa
tidak berperan secara optimal? Dan bila sudah berperan secara optimal mengapa
masih saja ada venture yang gagal?
EmoticonEmoticon